Minggu, 16 Maret 2014

Maret

Kau ingat? Ini Maret yang dulu pernah kita punya. Katamu, cinta itu lebih romantis di bulan ini. Hampir setiap saat kau katakan padaku, ‘ aku sayang kamu.’ . Aku bahagia. Sungguh, ini melebihi bahagia segala waktu yang pernah ada. Aku bisa merasakan segala getar yang kau hadirkan di dadaku. Saat kau jauh saja, misalnya. Aku hampir kehilangan warasku. Setiap detik ingatanku tertawan oleh namamu. Setiap saat rinduku memburu di mana raut wajahmu. Aku bagai orang gila yang mencari jalan pulang ke rumah ibunya. Aku bagaikan orang asing di negeri entah berantah. Mataku mencari sudut-sudut di mana kau bersembunyi. Ini Maret kita sayang, ucapmu menutup mataku. Dan kau tahu? Satu hal yang akhirnya membuatku merasa tak bisa lupa; tatap matamu di kala senja itu.

Setahun sudah berlalu, kenangan itu masih saja pulang. Membawa apa-apa yang telah kau buang. Sudah lelah aku berlari sejauh ini. Menghindari Maret. Dan kini ia datang lagi membawa semua yang pernah kau hadirkan dengan cinta, meski kini datang dengan lembaran siksa. Di dadaku ia mengiris seolah penuh dendam. Apa yang salah denganku selama ini? Aku telah berlari sejauh ini. Tapi Maret selalu datang memburuku. Kini ia menemukanku di hari-harinya. Sekejap saja ia menusuk dadaku hingga tertulang. Sakit!

Di Maret ini, ada ingatan yang terus ku hapus. Meski cinta itu tak pernah tandus. Selalu menumbuhkan benih-benih duka. Di dadaku ia bersemayam. Didadaku ia menjatuhkan apa-apa yang tak bisa lagi utuh. Bahkan saat aku menghindar darinya, ia masih saja bisa menemukanku. Menemukan aku dengan mata yang tak bisa menutupi bahwa masih ada cinta. Mata yang selama ini kubawa pergi, agar hati tak mati. Mata yang selama ini ku ajak berlari, agar hujan tak lagi membasahi pipi. Tapi ternyata Maret akan selalu tiba, entah
sampai kapan ia akan terus memburuku yang membawa pergi cinta.

Aku mungkin bisa membawa tubuh ini pergi menjauh. Meninggalkanmu. Belajar melupakanmu. Sekuat tenaga akan kucoba. Meski selalu saja ada yang membuatku tak berdaya. Karena sejauh apapun pergi, tak pernah menjamin kau tak akan lagi ditemui. Seperti hari ini, Maret ini menemuiku lagi, lengkap dengan bayanganmu setahun lalu. Lengkap dengan gema suara manjamu sejernih dulu. Dan lengkap jualah luka yang kembali mengalir di dadaku.


-- C.Rahman (@caulrahmann)

Sabtu, 15 Maret 2014

Pukul empat sore

Berulang kali kau menghadapkan wajahmu di mataku. Masih saja memperdengarkan suaramu di telingaku. Masih saja begitu tanpa pernah kau sadari aku berusaha membelah sepi. Ada beberapa kalimat yang ku redam, agar tak melompat dari bibirku. Ada setumpuk getar yang ku pendam agar tak merusuh di dada.

Aku masih bisa menemuimu setiap pukul empat sore. Meski sejak pukul tujuh pagi aku harus memilih wajah yang pas untuk menghadapimu. Aku memilah mana raut yang cocok untuk menatap matamu. Agar apa yang kusembunyikan tetaplah tersembunyi. Sesuatu yang kubiarkan membatu. Tanya yang untuk kesekian kalinya tetap tak bisa kujelaskan jawabnya.

Bagaimana mungkin aku menjelaskan kepadamu. Aku yang mengatakan pada dunia bahwa tak ada lagi harapan yang ku tanamkan atas namamu. Tapi pada kenyataan yang lain, ia tetap tumbuh di dadaku. Menjalar ke urat jantungku. Menusuk. Memedihkan.

Namun, demi nyamanya kamu dengan dunia kita. Agar kamu tetap bersedia bertemu denganku pukul empat sore. Aku membiarkan dadaku remuk di dalamnya. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar raut wajah yang kubawa adalah wajah yang tetap kau suka. Meski aku tahu, lama-lama rindu pun tak akan bisa ku simpan selalu. Mungkin benar, beberapa hal yang terasa memang harus tetap menjadi rahasia.


--- C.Rahman (@caulrahmann)

Sabtu, 08 Maret 2014

Aku telah memilihmu

Aku tau banyak di luar sana hati yang mungkin bisa saja menjadi penopang saat aku jatuh. Hati yang juga mungkin bersedia menemani sepiku. Yang bersedia bermalam larut bersamaku. Yang bersedia berbagi segala yang ia punya padaku. Tapi aku telah memilihmu.

Aku memilihmu atas apa saja resiko yang akan ku hadapi nanti. Aku memilihmu karena aku percaya. Rasa tak pernah salah dalam mengeja. Meski ia tak selalu benar dalam memperhitungkan luka. Tak apa. Bagiku memilihmu selalu mampu memulihkan. Kau obat atas segala nyeri di sudut hati, walau kadang, tak jarang kau juga sebab rindu memagut sepi.

Aku memilihmu atas segala rasa di dada. Mengabaikan segala kalimat manusia yang melemahkanku. Aku memilih buta. Aku memilih tuli. Aku memilih tak peduli pada ejaan manusia yang hanya ingin aku tanpa kamu.

Memilihmu adalah hal yang ingin ku kenang sebagai keputusan terbaik. Meski nanti yang aku dapat tak selalu hal-hal yang baik. Tak apa. Memilihmu akan selalu menyenangkan.

Meski juga menggenangkan. Bila akhirnya apa yang aku pilih tak juga membuat pulih. Dan aku akan tetap tersenyum meski perih. Setidak aku bahagia, pernah mencintaimu, dan pernah memilihmu. Meski tak memulihkanku.


-- C.Rahman (@caulrahmann)

Minggu, 02 Maret 2014

Kita baru memulai

Jika memang tak ada rasa dan tak berniat menyakiti, kenapa harus pergi?!
Bukankah seharusnya kita biasa saja. Tetap menghirup udara yang sama, tetap berjalan dibawah langit yang sama, meski tak lagi saling menggandeng, meski tak lagi saling bercerita soal hati. Tapi kita masih bisa saling berbagi banyak hal. Kenapa kau memilih untuk tidak memilihku, misalnya. Kenapa akhirnya kau berniat menjauh? Kenapa akhirnya kau mengira aku lelaki yang tak serius.

Mari kita bicarakan baik-baik. Pelan-pelan saja. Karena aku hanya manusia biasa, tak semua hal bisa ku mengerti hanya dengan kode-kode yang kau berikan. Ada baiknya kita saling membuka pikiran, bicarakan apa maumu, agar kau tak pergi dan berlalu begitu saja. Tanpa kau tahu, pergimu membawa sesuatu yang tertanam di dadaku. Sesuatu yang belum ku paham apa namanya. Tapi yang terasa hanya sesak di dada, saat ku tahu, kabarnya kau akan pergi menjauhiku, pergi meninggalkan hal yang baru saja ingin kubesarkan. Sesuatu yang tumbuh di dada dan kuniati untuk kujaga.

Tenangkan pikiranmu. Jujur saja, aku tak bermaksud merayumu. Apalagi untuk membuatmu merasa terpaksa untuk memahamiku. Tapi kita baru saja mulai, kenapa kau berniat pergi dan
menjauhiku. Kenapa kau malah ingin menanggalkan apa-apa yang baru saja tersemat di dadaku. Aku sudah berniat memastikan hati, dan seharusnya kau tak membiarkannya mati membusuk setelah kau pergi.

Jika kau berkenan, duduklah sejenak di sampingku. Beri aku waktu membiasakan diri untuk memenuhi inginmu. Jangan cepat-cepat pergi, karena aku bukan penjahat yang akan menyakitimu. Meski bukan manusia terbaik, tapi salahkah bila aku bermaksud baik untuk menseriusimu. Untuk memahamimu lebih lama lagi. Kita baru memulai, baru sejenak bersama. Jangan biarkan ini hanya menjadi kenangan yang akhirnya hanya menjadi kenangan sia-sia. Sabarkan dadamu, tenangkan egomu. Jika aku yang salah, katakanlah agar aku berubah. Kita masih akan tetap bisa baik-baik saja. Aku percaya, kamu mengerti maksudku.


-- C.Rahman (@caulrahmann)