Sabtu, 15 Maret 2014

Pukul empat sore

Berulang kali kau menghadapkan wajahmu di mataku. Masih saja memperdengarkan suaramu di telingaku. Masih saja begitu tanpa pernah kau sadari aku berusaha membelah sepi. Ada beberapa kalimat yang ku redam, agar tak melompat dari bibirku. Ada setumpuk getar yang ku pendam agar tak merusuh di dada.

Aku masih bisa menemuimu setiap pukul empat sore. Meski sejak pukul tujuh pagi aku harus memilih wajah yang pas untuk menghadapimu. Aku memilah mana raut yang cocok untuk menatap matamu. Agar apa yang kusembunyikan tetaplah tersembunyi. Sesuatu yang kubiarkan membatu. Tanya yang untuk kesekian kalinya tetap tak bisa kujelaskan jawabnya.

Bagaimana mungkin aku menjelaskan kepadamu. Aku yang mengatakan pada dunia bahwa tak ada lagi harapan yang ku tanamkan atas namamu. Tapi pada kenyataan yang lain, ia tetap tumbuh di dadaku. Menjalar ke urat jantungku. Menusuk. Memedihkan.

Namun, demi nyamanya kamu dengan dunia kita. Agar kamu tetap bersedia bertemu denganku pukul empat sore. Aku membiarkan dadaku remuk di dalamnya. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar raut wajah yang kubawa adalah wajah yang tetap kau suka. Meski aku tahu, lama-lama rindu pun tak akan bisa ku simpan selalu. Mungkin benar, beberapa hal yang terasa memang harus tetap menjadi rahasia.


--- C.Rahman (@caulrahmann)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar