Kita pernah saling menguatkan, saat aku tertatih, kau selalu menyediakan tanganmu untukku genggam. Kita selalu percaya, bahwa apa saja yang kita yakini akan selalu membuat kita kuat. Selama kita selalu bersama apa saja akan kita hadapi bersama, begitu katamu padaku. Aku yakin, kau adalah manusia yang bisa ku percaya.
Kita pernah saling memperjuangkan. Kau bahkan pernah memarahi orang-orang yang mendekatiku. Katamu, kau cemburu. Aku hanya tersenyum kecil saat itu. Meski tak suka dikekang, tapi aku senang kau cemburui. Aku senang menjadi orang yang kau perjuangakan untuk kau miliki seutuhnya.
Aku bahagia memilikimu. Kalimat yang selalu kukatakan padamu saat musim hujan mengurung kita di sebuah kafe. Kita untuk selamanya, katamu mengecup keningku saat ulang tahunmu. Berbalas terimakasih sayang tak pernah lelah mengecur dari bibir kita. Dan aku suka sesaat setelah itu kau mengecup bibirku. Ah, semuanya seakan menjadi milikku. Tak ada lagi yang aku ragukan atas cinta yang tumbuh.
Hingga pada beberapa detik sebelum aku sadar, ternyata tak semua cinta sanggup berjuang hingga akhir. Kau mengaku lelah. Entah dimana sebabnya. Yang aku dengar, katamu kita sudah tak mungkin melanjutkan ini lagi. Kita sudah berbeda prinsip. Lalu kau memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Semudah itu, dan semenyakitkan ini.
Sempat aku menangis sejadi-jadinya. Karena yang kau tak tahu adalah separuh detak dalam dadaku telah ku titip di dadamu. Kau mengambilnya lewat kecupan di musim hujan itu. Tapi aku harus menyadari satu hal; kita mungkin akan bisa selalu sama dalam hal mengatakan perjuangan, tapi tidak untuk menikmati kenangan.
Pada akhirnya tak semua cinta harus berakhir manis, memang. Dan aku harus menikmati sedu-sedan setelah kau pergi. Hingga kini. Hingga saatnya menangis pun akan membuatku lelah. Lalu aku akan jatuh cinta lagi seperti semula. Kepada manusia yang lebih pantas dicintai, seterusnya.
-- C.Rahman (@caulrahmann)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar